Friday, August 30, 2013

Intelijen Politik Masa Kolonial

| | 0 comments

DALAM kajian sejarah periode revolusi sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, kehadiran sebuah karya tentang aktivitas intelijen sudah pasti mendapatkan tempat tersendiri yang masih kosong. Buku karya sejarawan muda Allan Akbar yang berjudul Memata-matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916–1934 ini boleh dibilang berhasil duduk di atas kursi kosong tersebut. Menurut sejarawan Harry Poeze, yang sekaligus memberi pengantar, karya hasil skripsi ini merupakan penelitian pertama dalam bahasa Indonesia yang mengulas dinas intelijen politik pada masa kolonial.

Untuk rentang waktu 1916 hingga 1934, yang menjadi batasan temporal kajian ini, Allan menyediakan paparan yang sistematis tentang dua dinas intelijen bentukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pertama, Politieke Inlichtingen Dienst (PID) yang dibentuk pada 6 Mei 1916 dan kemudian dibubarkan pada 2 April 1919. Kedua, Algemeene Recherche Dienst (ARD), yang menjadi penerus PID, yang dibentuk pada 24 September 1919. Allan membangun pembuktian bahwa kedua dinas intelijen ini bergerak untuk membendung gerakan radikalisasi dan nasionalisme kaum pergerakan menuju Indonesia merdeka.

Allan memberikan alasan mengapa dia memilih kajian tersebut sebagai sebuah penelitian. Sebuah alasan yang merasionalisasi secara tematik dari persentuhannya dengan berbagai materi kuliah dan diskusi. Menurutnya, demikian dia membangun kegelisahan sebagai peneliti, pemerintah kolonial pasti mempunyai kepanjangan tangan untuk meredam aksi dari kaum pergerakan yang merebak di berbagai titik di wilayah koloninya pada awal abad XX. Allan, dengan demikian, percaya pada sebuah asumsi bahwa pergerakan menentang kolonial digerakkan oleh kaum elite modern terdidik, yang kelahirannya tidak bisa dilepaskan dari penerapan Politik Etis di Hindia Belanda mulai awal abad XX.

Cara Allan berangkat dari penerapan Politik Etis ini berhasil menjadikan buku ini fokus setidaknya pada dua poin. Pertama, dia berhasil menjahit genealogi kemunculan elite modern terdidik (meski tidak mendalam), yang dalam banyak literatur disebut membawa hasil gemilang berupa kemerdekaan Indonesia. Kedua, Allan mempunyai pagar batas untuk melacak cara-cara yang digunakan oleh PID maupun ARD dalam memata-matai kaum pergerakan dan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi pergerakan yang dibentuk oleh kaum nasionalis awal. Kedua poin ini merupakan materi yang relatif mudah untuk direkonstruksi seiring dengan banyaknya penelitian seputar periode revolusi sebelum kemerdekaan yang terbit dalam bahasa Indonesia dan mudah diakses peneliti kita.

Karena itu, karya ini hampir menunaikan tugas dengan baik ketika memaparkan kegiatan dua dinas intelijen politik (PID dan ARD) di Bab 3, cara dua dinas intelijen itu memata-matai kaum pergerakan di Bab 4, dan tanggapan dari sejumlah tokoh nasionalis dan komunis di Bab 5. Terlihat pula bagaimana paparan sejarah kecil (petite histoire) kaum pergerakan (Sukarno, Hatta, Tan Malaka) dalam menghindari intaian para intelijen kolonial, yang pada periode ARD bahkan menempatkan orang-orang pribumi sebagai pegawai intelijen. Mereka pun menuliskan laporan rahasia kepada pejabat dinas yang tentu dipegang elite kolonial.

Namun, cara Allan berangkat dari Politik Etis tadi sebenarnya juga telah mengaburkan pemahaman kita tentang kebijakan tersebut dalam kerangka besar kepengaturan elite kolonial terhadap masyarakat koloninya. Allan praktis hanya membaca konteks politik global ketika dia menyebutkan latar belakang pembentukan PID di tengah hawa panas Perang Dunia I. Selebihnya, Allan seperti kehilangan imajinasi terutama tentang konteks ekonomi politik kolonialisme Belanda di Nusantara. Allan lebih memilih, tanpa terlebih dahulu memilah, dunia intelijen masa kolonial dalam kaitan aktivitas politik di Hindia Belanda.

Karya Allan ini memang menyimpan lubang-lubang kecil yang masih bisa ditelaah lebih lanjut. Poeze, misalnya, sebagaimana diungkapkan dalam pengantar buku, mengajukan keraguan pernyataan Allan bahwa kegiatan dinas intelijen di Hindia Belanda mengalami titik balik menjadi surut setelah 1934. Allan membatasi diri untuk tidak menulis sejarah dinas intelijen politik setelah 1934 (dan sebelum periode pendudukan Jepang) karena orientasi perjuangan pergerakan nasional mulai lebih kooperatif. Sementara itu, Poeze melihat bahwa justru setelah 1934 semakin banyak pelanggaran aturan kolonial serta pergerakan ideologis dalam berbagai bentuknya yang menggelisahkan pejabat kolonial.

Selain itu, menurut saya, Allan pun rada terburu-buru menarik pernyataan terbatas bahwa dinas intelijen politik difungsikan untuk pengawasan kegiatan yang merong-rong legitimasi politik negara kolonial. Allan melihat bahwa para intelijen itu diletakkan di kota-kota besar di Jawa di mana elite pribumi mengadakan pertemuan atau aktivitas pergerakan yang lainnya. Memang, nama PID lebih dikenal di kalangan kaum pergerakan sekalipun dinas tersebut sudah bubar dan digantikan oleh ARD. Tetapi, jumlah personel polisi di Hindia Belanda ternyata juga tersebar hingga ke daerah-daerah yang menjadi sentral pengaturan kapitalisme perkebunan yang sangat diandalkan dari praktik kolonialisme Belanda.

Di titik inilah, saya menganggap sejumlah pernyataan Allan tentang Politik Etis sebagai kepedulian kaum kolonial patut diragukan. Pada masa krisis karena Perang Dunia I (lalu disusul krisis ekonomi hebat pada 1930-an) yang sangat mungkin menggoyahkan dinamika kapitalisme kolonial di berbagai belahan bumi itu, keberadaan para intelijen tampaknya sangat berguna untuk meredam kondisi kawasan koloni supaya tidak semakin parah dengan pemberontakan-pemberontakan kecil yang diambil peran oleh masyarakat terjajah. Analisis yang tekun ke arah itu masih diperlukan supaya kita keluar dari studi klasik tentang revolusi sebelum kemerdekaan yang hampir selalu ditautkan dengan pentas kaum pergerakan. [ ]

Memata-matai Kaum Pergerakan:
Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916–1934
Penulis: Allan Akbar
Pengantar: Harry A. Poeze
Penerbit: Marjin Kiri, Tangerang Selatan
Cetakan: Pertama, Maret 2013
Tebal: xx + 117 Halaman

*) Dipersiapkan untuk bedah buku "Memata-matai Kaum Pergerakan" di Yogyakarta, 20 April 2013.

0 comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Tumbuh di Tuban, Jawa Timur. Kini tinggal di Yogyakarta. Sedang menyusun skripsi kelulusan dari Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemui langsung pada kegiatan-kegiatan Komunitas Kembang Merak dan Gerakan Literasi Indonesia.
 
Twitter Facebook