Friday, August 30, 2013

Sketsa Intim Hutan Siberut

| | 0 comments

PADA ranah karya berbahasa Indonesia, inilah paparan etnografi yang paling intim tentang hutan Siberut. Buku tebal berjudul Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Ekologi Politik ini ditulis oleh Darmanto dan Abidah B. Setyowati, dua nama muda yang jelas tidak akan pernah menjadi selebritas dengan cara menulis buku berbobot semacam itu.

Buku ini menempatkan hutan Siberut sebagai pokok pembahasan sekaligus arena kuasa. Darmanto dan Abidah membaca arena itu dari sisi politik ekologi, suatu konsep kerja riset yang (sayang) kurang bisa memberi pembelajaran banyak secara konseptual bagi pembaca yang ulet.

Saya pribadi lebih mendapati bagaimana politik ekologi itu beroperasi dalam lanskap Siberut, tapi tak bisa dilacak bagaimana deskripsi dan seleksi oleh penulis atas kajian politik ekologi yang semakin luas. Karena itu, barangkali lebih ringkas untuk pertama-tama menganggap buku ini sebagai sebuah perjanjian atas delapan tahun hidup di Siberut, yang terutama dilampaui oleh salah satu penulis buku, yakni Darmanto, jauh sejak 2004.

Setelah itu, barulah kita masuk pada proses di belakang penulisan buku ini, yang bakal menggiring pada pendapat bahwa buku ini adalah perjanjian yang dilakukan dengan cara-cara kepakaran. Paling tidak, buat Darmanto saja, buku ini membimbing hampir sepertiga hidupnya sebagai fieldworker, yang ditekuni dan kini menjumpai kesempatannya sebagai peneliti doktoral antropologi di Universitas Leiden.

Bersama Abidah yang sekarang sedang kuliah doktoral di Universitas Rutgers, buku ini menjadi kerja kolaborasi dan produk kristalisasi fieldwork-based knowledge dengan perangkat catatan lapangan yang kaya.

Orang Siberut bukan tidak punya pakem adat pengelolaan hutan, tetapi mereka juga luwes dalam mengubah pakem-pakem itu. Berhadapan dalam kasus-kasus yang spesifik dan tipe kekuasaan yang berubah-ubah setiap zaman, mereka terus bertarung di atas hutan yang menjadi arena perebutan. Kadang mereka melawan, kadang bisa mempersilakan.

Namun, kesimpulan saya pada buku ini terletak pada akhir dari segala pertarungan yang dipaparkan dua penulis. Saya mencatat bahwa hampir semua intervensi, terutama terkait hutan, dan intervensi pembangunan lain-lain yang masuk ke Siberut dan dimainkan masyarakat Mentawai di dalamnya selalu gagal.

Saya mencermati bagaimana instrumen-instrumen yang disebut oleh penulis buku ini “untuk kehidupan yang lebih baik” itu tidak pernah dijumpai pada satu gol keberhasilan. Mulai dari ide konservasi, eksplorasi sumber daya kayu, koperasi, masyarakat adat, desentralisasi, bahkan sampai pada penanggulangan bencana yang saya telusuri belakangan dari situs blog pribadi Darmanto.

Saya kira, sketsa intim dari kajian tentang akses hutan Siberut di sini juga memberikan penjelasan mengapa pembahasan “resistensi” tidak relevan. Jika hutan Siberut memang menjadi arena perebutan kuasa, mungkin kita berharap bertemu pada kisah ketersingkiran orang Siberut sehingga berujung pada kemarahan. Memang, orang Siberut bukanlah sosok “korban” pembangunan yang menyerah begitu saja, kata penulis buku ini.

Tetapi, manuver-manuver di antara masyarakat Siberut pun bukan merupakan bahan klaim tentang gerakan perlawanan, hal ini mengasumsikan orang Siberut diserbu dan terbunuh oleh kekuasaan luar, yang menurut buku ini dianggap terlalu menyederhanakan kompleksitas persoalan. Penulis buku ini lebih memilih hasil akhir yang ambivalen dari yang disebut oleh Tania Li sebagai “proses sosial yang rumit” dalam kehidupan orang-orang Siberut itu sendiri kini.

Di titik itulah kelebihan buku ini sebagai upaya untuk lebih mendekati persoalan. Meski untuk itu penulis buku ini kelewat suntuk untuk membaca persoalan daripada sejak awal harus meletakkan diri di mana posisi mereka di tengah-tengah persoalan. Kelebihan penting buku ini, selain hal itu, terletak pada unit analisis berupa intervensi-intervensi pembangunan yang semua seperti bisa ditautkan dengan hutan.

Terlebih lagi, buku ini bukan lembar kajian evaluasi kebijakan, melainkan pendalaman kasus-kasus yang spesifik sehingga hampir muskil untuk memilah-milah kasus itu, lantas memungutnya beberapa saja sebagai ulasan atas buku ini. Saya kira pembaca dengan keluasan jelajah baca sudah tahu bahwa kesan semacam itu hanya bisa ditimbulkan dari sebuah karya yang mengarah pada penyusunan “karya besar”.

Hanya, buku ini tidak butuh dari rayahan tiga editor, pilihan yang berlebihan dengan hasil pekerjaan yang tak cukup membanggakan pembaca. Jejaring kepakaran yang disusun penulis buku ini sebenarnya sudah menutupi secara isi.

Lubang-lubang data dan penerapan pemahaman isi oleh penulis, saya duga, sudah disapu sekilas dalam banyak sekali komentar atas draf buku ini dari para pakar yang dijaring oleh penulis. Tetapi, hemat saya, masih tetap tidak ada yang berdiri dari atas balkon untuk duduk tekun dalam kesuntukan dengan naskah yang hasil cetaknya setebal ini. [ ]

Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi
Penulis: Darmanto dan Abidah B. Setyowati
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan UNESCO
Cetakan: Pertama, Oktober 2012
Tebal: xxxvi + 459 halaman

*) Dipersiapkan untuk bedah buku "Berebut Hutan Siberut" di Yogyakarta, 19 Januari 2013. Dimuat di Jawa Pos pada Minggu, 17 Maret 2013.

0 comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Tumbuh di Tuban, Jawa Timur. Kini tinggal di Yogyakarta. Sedang menyusun skripsi kelulusan dari Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemui langsung pada kegiatan-kegiatan Komunitas Kembang Merak dan Gerakan Literasi Indonesia.
 
Twitter Facebook